Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh Selamat Datang Di Blog Komunitas Hidayatullah

Cerita Hikmah

REKOMENDASI:Tampilan Maksimal, Aman dari Virus dan Proses Cepat Gunakan Browser Mozila Firefok, klik Banner di bawah Untuk Download.

Anggota Komunitas:

Wednesday, March 28, 2007

10 Ciri Orang yang Berfikir Positif

Semua orang yang berusaha meningkatkan diri dan ilmu pengetahuannya pasti tahu bahwa hidup akan lebih mudahn dijalani bila kita selalu berpikir positif. Tapi, bagaimana melatih diri supaya pikiran positiflah yang 'beredar' di kepala kita, tak banyak yang tahu. Oleh karena itu, sebaiknya kita kenali saja dulu ciri-ciri orang yang berpikir positif dan mulai mencoba meniru jalan pikirannya.
1. Melihat masalah sebagai tantangan Bandingkan dengan orang yang melihat masalah sebagai
cobaan hidup yang terlalu berat dan bikin hidupnya jadi paling sengsara sedunia.

2. Menikmati hidupnya Pemikiran positif akan membuat seseorang menerima keadaannya dengan besar hati, meski tak berarti ia tak berusaha untuk mencapai hidup yang lebih baik.

3. Pikiran terbuka untuk menerima saran dan ide Karena dengan begitu, boleh jadi ada hal-hal baru yang
akan membuat segala sesuatu lebih baik.

4. Mengenyahkan pikiran negatif segera setelah pikiran itu terlintas di benak 'Memelihara' pikiran negatif
lama-lama bisa diibaratkan membangunkan singa tidur. Sebetulnya tidak apa-apa, ternyata malah bisa
menimbulkan masalah.

5. Mensyukuri apa yang dimilikinya dan bukannya berkeluh-kesah tentang apa-apa yang tidak dipunyainya

6. Tidak mendengarkan gosip yang tak menentu Sudah pasti, gosip berkawan baik dengan pikiran negatif. Karena itu, mendengarkan omongan yang tak ada juntrungnya adalah perilaku yang dijauhi si pemikir
positif.

7. Tidak bikin alasan, tapi langsung bikin tindakan Pernah dengar pelesetan NATO (No Action, Talk Only),
kan? Nah, mereka ini jelas bukan penganutnya.

8. Menggunakan bahasa positif Maksudnya, kalimat-kalimat yang bernadakan optimisme, seperti "Masalah itu pasti akan terselesaikan," dan "Dia memang berbakat."

9. Menggunakan bahasa tubuh yang positif Di antaranya adalah senyum, berjalan dengan langkah
tegap, dan gerakan tangan yang ekspresif, atau anggukan. Mereka juga berbicara dengan intonasi yang
bersahabat, antusias, dan 'hidup'.

10. Peduli pada citra diri Itu sebabnya, mereka berusaha tampil baik. Bukan hanya di luar, tapi juga di dalam. 10 Ciri Orang yang Berfikir Positif
Selengkapnya..

Ketika Maut Meminangmu

Apa kabar sahabatku...??
Lama nian kita tak jumpa dan tak bertegur sapa
Saya yakin bukan karena kebencian diantara kita
Sayapun yakin bukan karena apa - apa...
Tapi rutinitas kesibukan yang tlah menjebak kita

Satu hal sebagai bahan renungan kita...
Tuk merenungkan indahnya malam pertama
Tapi bukan malam penuh kenikmatan duniawiah semata
Bukan malam pertama masuk ke peraduan Adam dan Hawa

Justeru malam pertama perkawinan kita dengan Sang Mauuut
Sebuah malam yang meninggalkan isak tangis sanak saudara


Hari itu...mempelai sangat dimanjakan
Mandipun...harus dimandikan
Seluruh badan kita terbuka....
Tak ada sehelai benangpun menutupinya..
Tak ada sedikitpun rasa malu...
Seluruh badan digosok dan dibersihkan
Kotoran dari lubang hidung dan anus dikeluarkan
Bahkan lubang – lubang itupun ditutupi kapas putih...
Itulah sosok kita....
Itulah jasad kita waktu itu

Setelah dimandikan...,
Kitapun kan dipakaikan gaun cantik berwarna putih
Kain itu ...jarang orang memakainya..
Karena bermerk sangat terkenal bernama Kafan
Wewangian ditaburkan ke baju kita...
Bagian kepala..,badan..., dan kaki diikatkan
Tataplah....tataplah...itulah wajah kita Keranda pelaminan...
Langsung disiapkan Pengantin bersanding sendirian...

Mempelai di arak keliling kampung bertandukan tetangga
Menuju istana keabadian sebagai simbol asal usul kita
Diiringi langkah gontai seluruh keluarga
Serta rasa haru para handai taulan


Gamelan syahdu bersyairkan adzan dan kalimah kudus
Akad nikahnya bacaan talkin...
Berwalikan liang lahat..
Saksi - saksinya nisan-nisan..yang tlah tiba duluan
Siraman air mawar..pengantar akhir kerinduan

dan akhirnya.....
Tiba masa pengantin..
Menunggu dan ditinggal sendirian...
Tuk mempertanggungjawabkan seluruh langkah
kehidupan

Malam pertama bersama KEKASIH..
Ditemani rayap - rayap dan cacing tanah
Di kamar bertilamkan tanah..
Dan ketika 7 langkah tlah pergi....
Kitapun kan ditanyai oleh sang Malaikat...
Kita tak tahu apakah akan memperoleh Nikmat Kubur...
Ataukah kita kan memperoleh Siksa Kubur.....
Kita tak tahu...dan tak seorangpun yang tahu....
Tapi anehnya kita tak pernah galau ketakutan....
Padahal nikmat atau siksa yang kan kita terima
Kita sungkan sekali meneteskan air mata...
Seolah barang berharga yang sangat mahal...

Dan Dia Kekasih itu..
Menetapkanmu ke syurga..
Atau melemparkan dirimu ke neraka..
Tentunya kita berharap menjadi ahli syurga...
Tapi....tapi ....sudah pantaskah sikap kita selama ini...
Untuk disebut sebagai ahli syurga ?????????

Sahabat...mohon maaf...jika malam itu aku tak menemanimu
Bukan aku tak setia...
Bukan aku berkhianat....
Tapi itulah komitmen azali tentang hidup dan kehidupan
Tapi percayalah...aku pasti kan mendo'akanmu...
Karena ...aku sungguh menyayangimu...
Rasa sayangku padamu lebih dari apa yang kau duga
Aku berdo'a...semoga kau jadi ahli syurga.
Amien

Sahabat....., jika ini adalah bacaan terakhirmu
Jika ini adalah renungan peringatan dari Kekasihmu
Ambillah hikmahnya.....
Tapi jika ini adalah salahku...maafkan aku....
Terlebih jika aku harus mendahuluimu....
Ikhlaskan dan maafkan seluruh khilafku
Yang pasti pernah menyakiti atau mengecewakanmu.....
*Dari Blog tetangga
Selengkapnya..

Kenapa Mesti malu?

Hari itu seperti biasanya saya mengantar dan menjemput Kiki, anak perempuan saya latihan Shorinji kempo. Dan ketika menjemputnya, saya melihat dia berbicara dengan temannya, seorang anak laki-laki yang sama-sama belajar kempo.

Saya tidak begitu menaruh perhatian pada mereka dan tetap menunggu anak saya selesai berbicara.
"Ada apa, Ki?" tanya saya setelah Kiki mendatangi saya.
"Teman Kiki bilang, 'Kenapa Mama memakai pakaian seperti itu di Jepang?
Apa ngga malu?" jawab Kiki.
"Terus Kiki, jawab apa?" tanya saya lagi.
"Mama nggak malu, kok. Mama pakai baju orang Indonesia.., " jawab Kiki.
"Ini pakaian orang Islam, Kiki, bukan pakaian orang Indonesia. Memang Mama ngga malu, kok. Nggak usah malu. Ya, jangan malu... " jelas saya.

Sambil mengayuh sepeda menuju pulang, saya bertanya lagi.
"Terus... Teman Kiki bilang apa lagi?" tanya saya tertarik.
"Dia cuma bilang, 'Oohhh'...."
"Hebat ya Kiki, bisa ngomong gitu sama temannya..., " puji saya.
"Lagipula kenapa harus malu, ya... " kata saya lagi.
"Oh ya, Kiki malu ngga dengan Mama?" tanya saya ingin tahu.
"Ngga... " sahutnya kalem.
Syukurlah. Saya menarik napas lega diam-diam.

***

Suatu hari saya mengajak anak-anak ke rumah teman.
Begitu memasukkan tiket, kereta listriknya datang dan segera pergi lagi meninggalkan kami yang tergopoh-gopoh menuruni tangga mengejarnya.
Tetapi akhirnya kereta listrik itu berangkat tanpa kami di dalamnya.
"Yaaahhh... Kita harus nunggu 10 menit lagi, " kata saya kecewa.
Anak-anak pun terlihat kecewa.

Sewaktu menunggu kereta bawah tanah datang, saya lihat anak-anak saya berbisik-bisik.
"Ada apa, sih?" Rasa keki membuat saya mengajukan pertanyaan.
"Itu ada teman Kiki. Miraretakunai...(ngga mau dilihat sama dia). "
"Kenapa? Kiki malu?" tanya saya seakan tahu apa yang dikhawatirkannya.
"Kalau ketemu nanti Kiki jadi harus ngomong begini begitu, " kata Kiki.
"Ngomong begini begitu, apa maksudnya, Ki?" tanya saya keheranan.
"Iya, Kiki kan jadi harus nerangin kenapa Kiki pake ini, " katanya sambil memegang jilbab warna biru mudanya.
"Tapi kan... Kalau dia teman Kiki yang baik, yah ngga apa-apa dong kalo lihat Kiki pakai jilbab?" tanyaku menyelidik.
"Hmmm..., " sahut Kiki pelan bernada ragu.
"Cuma malas aja kok ngejawab tanya-tanya, teman Kiki itu."

"Memangnya Kiki malu ya dilihat teman sekolah sedang pakai jilbab?"
tanya saya. Saya lihat Kiki diam sejenak dan menggeleng.
"Nggak, inilah Kiki yang sebenarnya. (Hontou no Kiki no shotai). Kenapa Kiki mesti malu!" jawabnya tiba-tiba.
"Begitu, dong!" kata saya membanggakannya.

***

"Bukan kita yang mesti malu dengan pakaian yang kita pakai. Lagipula kenapa kita mesti malu? Bukankah kita memakai pakaian yang memang disuruh Allah. Kalau kita pakai baju yang kelihatan pahanya, bahunya,
lehernya, nah orang yang pakai itu yang harusnya malu. Iya, ngga, Ki?"
tanya saya minta persetujuannya.
Tapi kenapa ada teman mama yang ngga pakai jilbab?" serbu Kiki.
Glek. Saya terdiam sejenak.
"Iya, mungkin mereka belum tahu, Ki. Mereka belum tahu bagaimana nyaman dan enaknya memakai ini. "
Tangan saya menunjuk pakaian panjangnya.
"Yang mama yakin, kalau mama memakai ini, perasaan mama tenang. Ngga ada perasaan bersalah, dan yang penting mama ngga mau dimarahi Allah. "
"Dimarahi Allah, Ma?" tanya Kiki bernada kaget.
"Iya. Kan, kalau ngga ikut kata Allah, nanti Allah marah, ngga sayang sama kita... "
"Mama pernah baca di buku, katanya orang yang ngga memakai jilbab akan dijauhkan dari surga, dan takkan mencium baunya surga. Wah, takkan mencium bau surga... Artinya jauh dari surga, malah ngga masuk surga dong ya... " jelas saya.
"He! Ngga mau ah... Kiki mau masuk surga, " kata Kiki antusias.

Jauh di dalam hati saya merenung. Masih banyak PR yang mesti saya siapkan yang harus saya ajarkan kepada anak-anak saya. Betapa Islam itu indah dan penuh keringanan-keringanan bagi penganutnya. Tidak ada keberatan-keberatan yang tak bisa dipikul hamba-hamba-NYA. Bukankah Allah takkan memberi cobaan di luar kesanggupan hamba-NYA?

Rasulullah salallahu 'alaihiwassalam bersabda, "Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih. Dan malu adalah salah satu cabang iman. "
Rasulullah juga bersabda, "Malu itu tidak datang kecuali dengan membawa kebaikan. "

" Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu" (al-Ahzab, 59).*Eramuslim
Selengkapnya..

Suami dan Istri Yang Ideal Adalah???

Masalah cinta itu berbeda dari suatu keadaan yang lain, dari satu sisi dengan sisi yang lain, dari satu lelaki dengan lelaki yang lain dari satu wanita dengan wanita yang lain.
Cinta adalah suatu keadaan, perasaan, kelemah-lembutan, baik yang tampak maupun tidak tampak. Sudah menjadi keharusan dalam suami isteri, bahwa setiap isteri mencintai suaminya, setiap suami mencitai isterinya. Jika tidak, lalu bagaimana usia perkawinan bisa terjadi sesudah beberapa tahun dalam kehidupan suami isteri? Apakah manusia dapat hidup bersama manusia lain yang dibencinya, bahkan merasa tidak mempunyai cinta atau tidak ada kesenangan?
Mungkin ada, tetapi langka sekali atau keadaannya akan tersingkap setelah beberapa saat walaupun panjang waktunya. Jika demikian, sudah sepantasnya setiap isteri mencintai suaminya dan membahagiakannya, berkorban dalam jalannya, memberi kepadanya dan menerima apapun yang diberikannya. Membuat dia berani dalam pekerjaan dan dalam kehidupannya, tidak mengotori tabiatnya, tidak menjadikan suami keluar dari rumahnya, sedang dirinya dalam keadaan emosi dan bersedih hati.
Ini kewajiban yang harus dilakukan oleh keduanya, sama saja baik dari isteri yang mencintai suaminya, maupun suami yang mencintai isterinya. Ini merupakan suatu kewajiban di dalam kehidupan, terutama dari kerasnya problematika serta peliknya kehidupan di dunia ini. Karena peradaban dunia saat ini telah menjadikan cinta suami dan isteri hilang cahayanya dari hari ke hari dan dari tahun ke taahun. Perasaan cinta sang isteri dan perasaan cinta sang suami hanya menjadi masalah yang sekunder. Isteri selalu berselisih dengan sang suami pada keadaan-keadaan yang dittuntut suami darinya, dan perhatian tehadapnya.
Demikian pula yang terjadi pada suami, banyak problematika rumah tangga yang sulit di pecahkan. Pada zaman modeen ini sulit mendapatkan gambaran sejati tentang cinta, terutama cinta dari seorang isteri terhadap suaaminya dan suami yang mencintai isterinya.
Biasanya, problematika keluarga sering terjadi apabila sang suami bekerja pada perusahaan besar, dimana direktur perusahaan dan kebiasaan orang yang mempunyai kekayaan memiliki sekretaris yang cantik. Pada dasarnya hubungan social seperti itu dapat menjauhkan kelanggengan cinta isteri kepada suaminya dan suami kepada isterinya. Sesuatu yang dapat kami komentari adalah, “Sesungguhnya cinta terhadap keluarga dalam kondisi seperti ini sangat mustahil, namun sang suami haarus mampu menghilangkan problematika terpenting yang dapat merusak keharmonisan keluarganya. Suami harus mengingat kembali tentang pendidikan anak, karena hal itu akan membantu menanamkan cinta ini (cinta isteri kepada suami dan cinta suami kepada isteri). Suami harus menjadi ikatan yang lebih dari cinta itu, keharmonisan yang lebih dari cinta itu, kemaslahatan yang lebih dari cinta itu pada setiap kondisi. Di sana harus selalu ada cinta yang sejati dari isteri kepada suaminya dan cinta sejati dari suami kepada isterinya. Isteri harus dapat membantu hal itu, karena dia lebih sensitif dalam masalah ini. Isteri tidak akan meninggalkan satu titikpun tanpa mengukur kedalamannya yaitu mengetahui dalamnya cinta suami terhadapnya dalam setiap kesempatan. *Majdi F. Al-Sayyid (ditulis ulang Oleh N. Amaliah)
Selengkapnya..

TANDA-TANDA SU’UL KHATIMAH

“Celakalah orang yang banyak zikrullah dengan lidahnya tapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya.” (Riwayat Adailami)
Mati adalah satu kepastian. Maka ketika ‘panggilan kahir’ kehidupan dunia ini sudah tiba, tidak ada kamus yang membedakan; tua-muda, dewasa-anak-anak, kaya-miskin, rakyat jelata atau bangsawan, tinggal dirumah gedongan maupun di kolong jembatan, semua kebagia jatah yang sama: mati. Panggilan itu sungguh-sungguh tepat waktu, tidak bisa dimajukan (walau melalui berbagai cara) atau pun ditunda (juga dengan berbagai usaha) innalillahi wa inna ilaihi raajiuun.
Yang penting bagi kita sebagai Muslim, bagaimana agar tugas akhir dalam kehidupan sebagai Abdullah (hamba Allah) maupun sebagai khalifatullah (wakil Allah Swt) di muka bumi ini, menyandang gelar terhormat, dengan jaminan dan keistimewaan yang luar biasa yakni, khusnul khatimah.
Dalam tulisan Al-qur’an kali ini, kami ingin mengungkapkan cirri-ciri/ ataub sebab-sebab amaliyah yang mengantarkan seeorang pada akhir kehidupan yang buruk atau su’ul khatimah. Semoga yang demikian kita dapat menghindarinya dan masuk ke dalam kelompok orang yang berpulang (meninggal dunia) dengan cara khusnul khatimah. Amin ya robbal ‘alamin.
Sebab-sebab atau ciri-ciri su’ul khatimah tersebut adalah sebagai berikut :


  1. Rusak Aqidahnya

  2. Ini adalah peringatan pertama. Bahwa sekalipun seorang sentiasa melakukan amal sholeh dan zuhud (tidak mengejar kemewahan dunia). Tetapi jika aqidahnya rusak sedangkan dia tetap meyakini bahwa aqidahnya masih betul (lurus) dan tidak pernah merasa telah tersesat, maka dia akan melihat kesesatan aqidahnya itu, ketika datang saat sakaratul maut (hampir mati) nanti.
    Pada saat itu bersangkutan baru terbelalak kaget, karena pa yang diyakininya ternyata menyimpang daari jalan Islam yang benar. Kematian dalam suasana seperti ini menjadi su’ul khatimah. Naudzubillahi min dzalik, lantaraan yang bersangkutan tidak sempat bertaubatdari kesesatannya dan kala itu pintu taubatsudah ditutup. Firman Allah dalam ayat 47 surah Az-Zumar yang menjelaskan: “..dan jelaskah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.”
    Dalam Firman-Nya yang lain dalam ayat 103 hingga 104 surah Al-Kahfi Allah menerangkan: Katakanlah: “Apakah akan kami beritahu kepadamu tentang orang-orang yang paling rugi perbuatannya? Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini. Sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
    Setiap aqidah yang melenceng dari landasan Islam yang benar (syari’at Islam), maka segala amal sholeh dan kezuhudnya, tidak dapat menjadi penolong baginya kelak. Aqidah yang shohih (yang lurus) adalah telah tertuang dalam Al-Quran dan Hadits.

  3. Melanggengkan Perbuatan Maksiat

  4. Maksiat adalah perbuatan yang tercela. Namun demikian, hampir tidak ada manusia yang dapat menghindari dari perilaku maksiat. Yang bijak, jika tenggelam dalam maksiat, segera bangkit dan bertaubat. Mengapa? Tidak lain karena setiap perkara yang menjadi kebiasaan pada diri seseorang maka hal itu akan diingati ataupun terbayang di saat kematian tiba.
    Sekiranya dia sentiasa beramal dengan amalah sholeh, maka saat datang kematian, dia akan mengenang/ingat/, segala kebaikan yang pernah dialkukan. Manakala dia senantiasa bergelimang dengan dosa, maka ketika nafasnya akan dicabut oleh malaikat, dia akan kembali mengingat segala maksiat yang dilakukannya.
    Inilah yang menjadi beban dan menjadi dinding penghalang antara dia dan Allah. Dan hal itu yang menyebabkan sulitnya saat terakhir sebelum menghembuskan nafas terakhir. Rasulullah bersabda: “Celaka orang yang banyak zikrullah dengan lidahnya, tapi ia bermaksia terhadap Allah dengan perbuatannya.“ (Riwayat Adailami).
    Orang yang semula ahli maksiat, tapi dengan segera diikuti taubat, maka dia tidak akan mengalami kegetiran sakaratul maut. Bahkan dijanjikan segal kejahatannya akan diganti dengan kebaikan sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Kecuali orang-orang yang bertaubat beriman, dan mengerjakan amal sholeh, maka kejahatan mereka diganti Allah Maha Pengampun lagi Maaha Penyayang“(Al-Furqan: 70)
    Lain halnya dengan mereka yang terus melakukan maksiat sehingga dosanya bertumpuk-tumpuk, hingga melebihi jumlah kebaikan dan ketaatan yang telah dilaksanakan, dan bahkan dia melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, maka dia akan menghadapi kegetiran ketika sakaratul maut menjelang.
    Kita memohon kepada Allah agarterhindar daari perilaku yang demikian itu, dan diringankan hati untuk lekas bergegas ke jalankembali (taubat).

  5. Berpaling Dari Istiqaamah (Islam)

  6. Akhir hayat adalah ibarat arena lomba yang masing-masing tidak tahu dimana garis finisnya. Bila ingin mendapatkan hadiah, setiap peserta wajib menuntaskan lombanya hingga ke garis finis. Ketika didapati peserta lomba yang sedari awal tercatat sebagai peserta pertandingan, akan tetapi dia tidak menuntaskannya (beristiqamah) hingga garis finis, maka dia tidak berhak mendapatkan hadiah.
    Demikianpun, meski seorang dibagian awalnya memegang teguh dienul Islam namun pada perjalanan berikutnya berupah menjadi murtad-kita berlindung kepada Allah dari perilaku yang demikian ini-maka dia akan mendapati akhir hayatnya sebagai su’ul khatimah/jahat/buruk di akhir hidupnya.
    Sebagaimana yang terjadi pada iblis, dimana sebelumnya dia adalah merupakan pemimpin para malaikat dan guru mereka dalam ketaatan kepada Allah, akan tetapi iblis melakukan pembangkangan, maka dia diganjari makhluk yang terkutuk dan sesat.
    Begitu juga yang dialami oleh Bal’am ibnu Ba’ura yang mana merupakan seorang ulama’ yang hebat pada masanya, tetapi akhirnya menjadi hina karena menurut hawa nafsunya. Begitu juga seorang abid yang bernama Barsisa yang tenggelam mengikuti jejak langkah syaitan, karena terpengaruh dengan kata-kata syaitan. Kisah Barsisa ini dapat kita baca dalam tafsir surah Al Hasyr ayat 16 dan 17, contoh bagi orang yang diperdaya oleh syaitan: “(bujukan orang-orang munafik itu adalah)seperti (bujukan) syaitan ketika dia berkata kepada manusia: “Kafirlah kamu!”, maka tatkala manusia itu telah kafir maka dia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam”. Maka adalah kesudahan keduanya, bahwa sesungguhnya keduanya (masuk) ke dalam neraka, mereka kelak di dalamnya. Demikian balasan orang-orang yang zalim”.

  7. Lemah Iman

  8. Terakhir, lemahnya iman menjadi indikasi seseorang akan masuk dalm kelompok su’ul khatimah. Ini terjadi karena seseorang yang memiliki keimanan yang lemah, maka lemahlah kecintaannya kepada Allah, sebaliknya: kuat dan bertambahlah kecintaannya kepada dunia.
    Suasana hati yang seperti ini (akibat lemahnya iman), akan menyebabkan dia tidak merasa bersalah ketika melakukan tindakan maksiat, dan tidak merasa bahwa dia akan bertanggung jawab apa yang sedang/telah dilakukannya kepada Allah. Dia bahkan melakukannya dengan bebas tanpa rasa takut dan khawatir pada aturan agama.
    Sungguh berbahayanya suasana jiwa yang seperti ini, sebab bila tiba saat kematian, akan semakin bertaambah-tambah kecintaannya kepada dunia, sesuatu yang pasti yang akan ditinggalkannya. Dia rasa begitu sayu dan payah untuk meninggal dunia yang penuh penipuan ini. Maka ketika nafasnya berpisah dari jasad dalam suasana seperti ini, maka dia termasuk golongan mereka yang jahat akhir hidupnya.
    Ya Allah ya Tuhan kami, ampunilah dosa dan kesalahan kami, dan jauhkanlah kami dari kelompok orang-orang yang tersebut diatas. Jadikanlah akhir hayat kami sebaik-baik pengakhiran, khusnul khatimah (*Ali Athwa)

Selengkapnya..

Isteri Yang Ideal Menurut Rasulullah saw

Setiap wanita selalu berangan-angan dalam reluang hatinya agar menjadi wanita yang ideal, dicintai oleh suaminya dan ia sendiri cinta kepadanya serta berhasil dalam kehidupan rumah tangga.
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa setiap wanita berusaha keras utnuk medapatkan Ridha suaminya, menjadikan kebahagiaan dan kesenangan selalu menghiasi rumahnya serta hidup tenang bersama suami tercinta. Isteri ideal memiliki tiga sifat-sifat yang istimewa, dan hal ini telah terindikasi dengan jelas sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah saw. Dalam haditsnya, “Sebaik baik wanita adalahyang menyenangkan kamu apabila kamu melihatnya, taat padamu apabila kamu perintah dan menjaga diri dan hartamu pada saat kamu bepergian.”
Dalam riwayat yang lain Rasulullah pernah ditanya oleh seseorang “Siapa wanita yang baik itu, maka Rasulullah bersabda “yang menyenangkan apabila dipandang, menataati apabila diperintah dan tidak melanggar dengan apa yang tidak disukai dalam diri dan hartanya”


  1. Isteri Yang Ideal Berakhlak Baik
    Isteri yang ideal memiliki sifat dan akhlak yang mulia sebagaimana yang ditunjukan oleh Rasulullah saw. Yaitu menjaga diri dari hal-hal yang tidak baik, menjauhkan dari apa yang tidak halal dan tidak bagus.


  2. Bakti : seseorang isteri harus menunjukan rasa baktinya terhadap suami karena hal itu akan menghantantarkannya ke surga.

  3. Diprioritaskan : lebih memprioritaskan orang lain (suami) daripada dirinya sendiri.Dengan hal itu Allah swt akan menjadikannya termasuk penghuni surga.

  4. Ridha : keridhaan untuk hidup dibawah kasih sayang TuhanNya.

  5. Tawaddhu : “Ister\i yang tawaddhu“ akan menjadikan hamba-hamba yang shalihah.

  6. Ikhlas : orang yang ikhlas tidak akan bersedih atas apa yang telah berlalu. Tidak gembira atas apa yang terjadi dan tidak takut dari apa yang akan datang.

  7. Malu : Karena wanita yang memiliki sifat malu termasuk wanita yang beriman dan wanita yang beriman tidak ada bagi mereka balasan yang sesuai selain surga

  8. Tenang: Hatinya tenang tidak takut dari musibah-musibah dan tidak takut pada kesengsaraan.

  9. Bersyukur : Hatinya mengetahui, bahwa nikmatyang ada adalah karunia dari Allah kemudian hartanya digunakan untuk segala kebaikan yang diridhai Allah swt.

  10. Penyantun : wanita yangbersifat santun akan mendapatkan petunjuk dalam segala tindakannya.

  11. Istiqamah : Melaksanakan perintah-perintah syariat dan menjauhkan diri dari menentang-Nya

  12. Sabar : Kesabaran termasuk salah satu akhlak orang yang beruntung didunia dan di akhirat.

  13. Takwa: Rasa takutmu disalurkan hanya kepada Allah swt, sebagai bentuk persiapan untuk hari keberangkatan dan qanaah (rasa cukupmu) dengan yang sedikit.

  14. Jujur : Kejujuran dicintai oleh Allah dan dicintai oleh manusia.

  15. Menepati Janji: Menepati janji untuk melaksankan hak Allah dan menunaikan hak-hak lainnya.
*Majdi F Al-Sayyid (Ditulis Ulang Oleh N.Amaliah) Selengkapnya..

Kitalah Yang Akan Ditanya

Inilah kisah Buhlul, salah seorang kerabat Khalifah Harun Al-Rasyid. Ia seorang yang berilmu dan memiliki keutamaan dalam agama. Suatu hari, ketika ia sedang asyik bermain bersama anak-anak, Harun Al-Rasyid memanggilnya dan berkata,“Apa yang engkau lakukan?“
"Saya bermain bersama anak-anak, dan membuat rumah dari tanah liat", jawab Buhlul.
Mendengar itu Harun Al-rasyid berkata, “Engkau sangat mengherankan. Engkau tinggalkan dunia beserta isinya.“
Buhlul menjawab, “justru engkau yang sangat mengherankan. Engkau tinggalkan akhirat beserta isinya.“

Kisah buhlul ini mengingatkan saya kepada cerita dari Aisyah ra.
Ada seorang arab dusun datang kepada nabi saw, sambil berkata, “Engkau mencium anak-anak, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka.“
Nabi saw menjawab, “Apa dayaku apabila tuhan telah mencabut kasih saying dari hatimu.”(HR. Bukhari).

Nabi saw, mencontohkan bagaimana menyayangi anak. Pernah Rasulullah saw, menggendong cucunya, Umamah binti Abi Al-Ash, ketika sedang shalat. Jika rukuk, Umamah diletakkan dan ketika bangun dari rukuk, maka Umamah diangkat kembali.
Pernah juga Rasulullah saw, bermain kuda-kudaan dengan cucunya yang lain, Hasan dan Husain. Ketika Rasulullah Saw, sedang merangkak diatas tanah, sementara kedua cucunya berada diatas punggungnya, Umar dating lalu berkata, “Hai Anak, alangkah indah tungganganmu.“

Rasulullah Saw, menjawab, “Alangkah indah para penunggangnya!”
Tidak jarang Rasulullah Saw, menghadapi anak-anak dengan sikap melucu. Bila mendatangi anak-anak kecil, Rasulullah Saw, jongkok dihadapan mereka, memberi pengertian kepada mereka, juga mendo’akan mereka. Begitu hadits riwayat Ath-Thusi menceritakan. Sementara Usamahbin Zaid memberi kesaksian. “(Sewaktu aku masih kecil) Rasulullah Saw, pernah mengambil aku untuk didudukan pada pahanya, sedangkan Hasan didudukan pada paha beliau yang satunya. Kemudia kami berdua didekapnya, seraya berdo’a, “Ya Allah, kasihanilah keduanya,karena kau telah mengasihi keduanya.”(HR. Bukhari).

Kisah tentang Rasulullah Saw, bersama anak adalah kisah tentang kasih-sayang. Ia memendekan shalatnya ketika mendengar tangis anak. Karena anak pula, Rasulullah Saw, pernah bersujud sangat lama. Begitu lamanya Rasulullah Saw, bersujud sampai-sampai para sahabat mengira Rasulullah Saw, sedang menerima wahyu dari Allah ‘Azza wa Jalla. Padahal yang terjadi sesungguhnya adalah, ada cucu yang menaiki punggungnya.

Tentang mencintai anak, Rasulullah Saw, pernah bersabda, “Cintailah anak-anak dan sayangilah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka, tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulahyang memberi mereka rezeki.”(HR. Ath-Thahawi).

Hari ini, ketika kita mengaku sebagai ummat Muhammad, apakah yang sudah kita lakukan pada anak-anak kita? Apakah kita telah mengusap kepala anak-anak kita sebagaimana Rasulullah Saw melakukannya? Apakah kita juga telah mengecup kening anak-anak kita yang sangat rindu kasih saying bapaknya? Ataukah kita seperti Aqra’ bin Habis At-Tamimi yang tak pernah mecium anaknya, sehingga Rasulullah bersabda, “Barang siapa tidak menyayangi,dia tidak akan di sayangi.” (HR. Bukhari)

Inilah sebagian diantara pertanyaan-pertanyaan yang perlu kita jawab dengan jujur. Bukan kepada orang lain, tetapi kepada diri kita sendiri. Pertanyaan ini pula yang pelru kita jawab ketika kita menginginkan anak-anak yang terbebas dari siksa api neraka, sebagaimana yang Allah perintahkan kepada kita atas anak-anak kita dan isteri kita. “Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. “ (QS. At-Tahrim: 6)

Seperti kata Buhlul, kita bermain dengan anak, menyayangi mereka, bercanda, bermain kuda-kudaan dan bila perlu membuat rumah-rumahan dari tanah liat, adalah untuk mendapatkan akhirat seisinya. Kita memberi mereka kebahagiaan dengan menyediakan punggung kita sebagai pelana buat buah hati kita, semoga terpenuhinya kebutuhan psikis mereka akan menjadikan mereka tumbuh sebagai pribadi yang kokoh. Terlalu mengerikan akibatnya bila anak tidak pernah di sapa ruang jiwanya oleh orang tuanya, tidak terkecuali bapak.penelitian-penelitian psikologis menunjukan, masked-deprivation atau kelaparan terselubung terhdap kasih-sayang seorang bapak cenderung melahirkan anak-anak yang menderita kecemasan, rasa tidak tentram, rendah diri, kesepian (meski di tengah kerumunan orang banyak), agresivitas, negativisme (kecenderungan melawan orang tua), serta berbagai bentuk kelemahan mental lainnya. Sangat panjang akibat yang bias dirunut akibat kelaparan yang dirasakan anak terhdap kasih-sayang seorang bapak.

Masya-Allah, begitu buruk akibatnya, tetapi alangkah sering kita lupa. Padahal Nabi Saw, juga tak kurang-kurang memberi contoh kepada kita. Atau jangan-jangan kita sudah tidak mengenal Nabi, meski sekedar anggota keluarganya?

Astaghfirullahal ‘adzim. Semoga Allah mengampuni kezaliman kita. Semoga pula Allah mengampuni keangkuhan kita kepada anak-anak kita sendiri.

Aku dapati, sebagian bapak enggan mengusapkan tangan ke pipi anaknya yang sedang meneteskan air mata. Mereka juga tidak pernah menyempatkan diri, meski cuma sekali, untuk membaringkan tubuh anaknya yang letih hanya karena mereka merasa talah banyak berjasa dengan mncari uang yang tak seberapa. Mereka ingin dihormati oleh anak-anaknya, tetapi dengan menciptakan jarak sehingga anak tak pernah sanggup mencurahkan isi hatinya kepada bapaknya sendiri. Mereka ingin menjadi bapak yang disegani, tetapi dengan cara membangkitkan ketakutan. Padahal Rasulullah Saw, sering mencium putrinya, Fatimatuz Zahra. Bahkan ketika putrinya beranjak dewasa.

Mereka ingin disayangi oleh anak-anaknya ketika usianya telah tua, tetapi tidak pernah menanam cinta dan kasih-sayang. Mereka ingin dirindukan oleh anak-anaknya di saat renta, tetapi tak pernah punya waktu untuk tertawa bersama. Mereka merasa, kerja sehari telah cukup untuk membeli semua. Sehingga tidak ada yang mengetahui urusan anak di rumah, kecuali isteri. Bahkan yang lebih tragis, isteripun tak tahu sama sekali, sebab telah ada pembantu yang telah menggantikan semuanya.

Astaghfirullahal ’adzim. Alangkah sering kita merasa suci, padahal tak satu pun perilaku Nabi Saw. Kepada anak atau isteri yang sanggup kita contoh.

Kuteringat dengan’Aisyah, isteri Nabi Saw yang paling di cintai sesudah Khadijah. Ibnu Umar pernah dating kepadanya dan berkata, “Izinkan kami di sini sejenak dan ceritakanlah kepada kami perkara paling mempesona dari semua yang pernah, engkau saksikan pada diri Nabi.”

‘Aisayah menarik nafas panjang. Kemudian dengan terisak menahan tangis, ia berkata dengan sura lirih, “Kaana kullu amrihi ’ajaba. Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku.“

Masih dengan suara lirih,’Aisyah bercerita, “Suatu malam, ketika dia tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata, Ya ‘Aisyah, izinkan aku beribadah kepada Tuhanku. ’Aku berkata, ’Sesungguhnya aku senang merapat denganmu, tetapi aku juga senang melihatmu beribadah kepada Tuhanmu. ’Dia bangkit mengambil gharaba air, lalu berwudhu. Ketika berdiri shalat, ku dengar ia terisak-isak menangis hingga air matanya membasahi janggut. Kemudia dia bersujud dan menangis hingga lantai pun basah dengan air mata. Lalu dia berbaring dan menangis hingga datanglah Bilal untuk memberitahukan datangnya waktu Subuh.“

’Aisyah melanjutkan, “Bilal berkata, ’Ya Rasul Allah, mengapa engkau menangis padahal Allah telah ampuni dosa-dosamu yang terdahulu maupun yang akan datang. ’Bukankah aku belum menjadi hamba yang bersyukur? ’Kata Rasulullah, ’Aku menangis karena malam tadi Allah telah menurunkan ayat kepadaku, ’Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yaang berakal. ’Kemudian Nabi bersabda,’Celakalah orang yang membaca ayat ini namun tidak merenungkannya.“

Ibnu Katsir menukil peristiwa ini ketika menafsirkan surat ’Ali Imran ayat 190-191. Ada yang menjadi tanda-tanya bagi kita sesudah membaca kisah ini. Jika ‘Aisyah berkata, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba. Ah semua perilakunya menakjubkan bagiku.”; aku tidak tahu apakah apakah yang akan diucapkan oleh isteri kita jika suaminya ditakdirkan meninggal lebih dulu. Aku juga tidak tahu apakah yang akan diucapkan oleh anak-anak kita tentang orangtuanya. Semuanya terpulang kepada kita. Apakah kita mau mencoba untuk menjadi bapak dan suami yang lebih menyejukkan hati –meski harus gagal berkali-kali-ataukah kita merasa telah cukup mulia dengan perhatian kita yang tak seberapa.

Jika kita masih merasa bahwa semuanya merupakan tanggung-jawab isteri tanpa ada bagian kita sedikitpun, maka sekali waktu tengoklah isterimu yang terbaring penat karena tak ada waktu baginya untuk istirahat. Sesudahnya, ingatlah ketika Nabimu berkata di saat-saat terakhir hidupnya, “Takutlah kepada Allah dalam mengurus isteri kalian. Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu berbuat baik kepada mereka. “Setelah itu, tengok pula anakmu yang telah tertidu. Cobalah untuk mengusap-usap kepalanya, keningnya dan tak lupa wajahnya. Sentuhlah dengan perasaan yang tulus. Dan lihatlah, alangkah sedikit yang telah engkau lakukan. Padahal kitalah yang akan dimintai pertanggungjawaban. Kitalah yang akan ditanya di hari kiamat nanti.

Atau jangan-jangan kita telah lupa dengan itu semua? *M. Fauzhil Adhim(ditulis Ulang Oleh N.Amaliah)*
Selengkapnya..

Tuesday, March 20, 2007

Indahnya Istri Shalihah

Rumah tangga bahagia? wah siapa yang tak kepingin? Ini sebuah kisah perjalanan rumah tangga seorang istri yang mencintainya suaminya semata-mata karena cintanya kepada Allah
Hari itu merupakan hari bahagiaku, alhamdulillah. Aku telah menyempurnakan separo dienku: menikah. Aku benar-benar bahagia sehingga tak lupa setiap sepertiga malam terakhir aku mengucap puji syukur kepada-Nya.

Hari demi hari pun aku lalui dengan kebahagiaan bersama istri tercintaku. Aku tidak menyangka, begitu sayangnya Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadaku dengan memberikan seorang pendamping yang setiap waktu selalu mengingatkanku ketika aku lalai kepada-Nya. Wajahnya yang tertutup cadar, menambah hatiku tenang.

Yang lebih bersyukur lagi, hatiku terasa tenteram ketika harus meninggalkan istri untuk bekerja. Saat pergi dan pulang kerja, senyuman indahnya selalu menyambutku sebelum aku berucap salam. Bahkan, sampai saat ini aku belum bisa mendahului ucapan salamnya karena selalu terdahului olehnya. Subhanallah.

Wida, begitulah nama istri shalihahku. Usianya lebih tua dua tahun dari aku. Sekalipun usianya lebih tua, dia belum pernah berkata lebih keras daripada perkataanku. Setiap yang aku perintahkan, selalu dituruti dengan senyuman indahnya.

Sempat aku mencobanya memerintah berbohong dengan mengatakan kalau nanti ada yang mencariku, katakanlah aku tidak ada. Mendengar itu, istriku langsung menangis dan memelukku seraya berujar, “Apakah Aa’ (Kakanda) tega membiarkan aku berada di neraka karena perbuatan ini?”

Aku pun tersenyum, lalu kukatakan bahwa itu hanya ingin mencoba keimanannya. Mendengar itu, langsung saja aku mendapat cubitan kecil darinya dan kami pun tertawa.

Sungguh, ini adalah kebahagiaan yang teramat sangat sehingga jika aku harus menggambarkanya, aku tak akan bisa. Dan sangat benar apa yang dikatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Dunia hanyalah kesenangan sementara dan tidak ada kesenangan dunia yang lebih baik daripada istri shalihah.” (Riwayat An-Nasa’i dan Ibnu Majah).

Hari terus berganti dan tak terasa usia pernikahanku sudah lima bulan. Masya Allah.

Suatu malam istriku menangis tersedu-sedu, sehingga membangunkanku yang tengah tertidur. Merasa heran, aku pun bertanya kenapa dia menangis malam-malam begini.

Istriku hanya diam tertunduk dan masih dalam isakan tangisnya. Aku peluk erat dan aku belai rambutnya yang hitam pekat. Aku coba bertanya sekali lagi, apa penyebabnya? Setahuku, istriku cuma menangis ketika dalam keadaan shalat malam, tidak seperti malam itu.

Akhirnya, dengan berat hati istriku menceritakan penyebabnya. Astaghfirullah…alhamdulillah, aku terperanjat dan juga bahagia mendengar alasannya menangis. Istriku bilang, dia sedang hamil tiga bulan dan malam itu lagi mengidam. Dia ingin makan mie ayam kesukaanya tapi takut aku marah jika permohonannya itu diutarakan. Terlebih malam-malam begini, dia tidak mau merepotkanku.

Demi istri tersayang, malam itu aku bergegas meluncur mencari mie ayam kesukaannya. Alhamdulillah, walau memerlukan waktu yang lama dan harus mengiba kepada tukang mie (karena sudah tutup), akhirnya aku pun mendapatkannya.

Awalnya, tukang mie enggan memenuhi permintaanku. Namun setelah aku ceritakan apa yang terjadi, tukang mie itu pun tersenyum dan langsung menuju dapurnya. Tak lama kemudian memberikan bingkisan kecil berisi mie ayam permintaan istriku.

Ketika aku hendak membayar, dengan santun tukang mie tersebut berujar, “Nak, simpanlah uang itu buat anakmu kelak karena malam ini bapak merasa bahagia bisa menolong kamu. Sungguh pembalasan Allah lebih aku utamakan.”

Aku terenyuh. Begitu ikhlasnya si penjual mie itu. Setelah mengucapkan syukur dan tak lupa berterima kasih, aku pamit. Aku lihat senyumannya mengantar kepergianku.

“Alhamdulillah,” kata istriku ketika aku ceritakan begitu baiknya tukang mie itu. “Allah begitu sayang kepada kita dan ini harus kita syukuri, sungguh Allah akan menggantinya dengan pahala berlipat apa yang kita dan bapak itu lakukan malam ini,” katanya. Aku pun mengaminkannya.* (Hidayatullah)
Selengkapnya..