Aku, anak lelaki satu-satunya. Segala mauku terpenuhi. Jauh dari keluarga, aku pun akhirnya ndrugal. Miras dan narkoba kukonsumsi dengan uang kiriman ortu. Suatu hari kulihat derita ibu. Inilah titik balik langkahku.
Seperti lazimnya remaja yang beranjak dewasa, aku pun selalu ingin mencoba segala sesuatu yang menurut hatiku menarik dan menantang. Apalagi bila lingkungan pergaulan begitu berpengaruh dalam hati, maka apa pun yang akan terjadi aku lakukan juga walau resikonya begitu besar. Semua itu tidak akan aku pedulikan, yang penting obsesiku sebagai remaja bisa terpenuhi.
Aku adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Dalam keluargaku, hanya akulah satu-satunya anak laki-laki. Praktis, aku selalu dimanja kedua orang tua. Bahkan, adik bungsuku --yang wanita itu-- pun kadang iri melihat kasih sayang ibu dan ayah padaku melebihi kasih sayang mereka kepadanya. Apapun yang aku mau, pasti mereka kabulkan walau itu terkesan dipaksakan. Ya, aku betul-betul menikmati posisiku sebagai anak laki-laki satu-satunya.
Waktu pun terus berjalan tiada terasa. Setelah lulus SMA, bila ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, mau tidak mau aku harus hijrah dari kampungku ke kota. Hal ini terasa berat olehku. Aku yang selalu dilayani; baik makan, cuci dan sebagainya, kini harus mandiri dan jauh dari orang tua. Namun, keinginan untuk kuliah membuatku terpaksa sedikit berkorban. Tak apalah, pikirku saat itu. Yang penting kiriman dana terus mengalir padaku, semuanya pasti beres.
Sejujurnya, kami ini bukanlah keluarga kaya raya. Ayahku hanyalah seorang pensiunan pegawai rendah yang berpenghasilan tak seberapa, sedangkan ibuku hanyalah pedagang kecil sayur-sayuran yang dikumpulkan dari petani dan dijual ke kota kabupaten. Bila dipikir, menguliahkanku terasa dipaksakan saja. Tapi, demi anak manja ini, semua kemauanku pasti mereka turuti, terlebih lagi bila kuberi embel-embel demi masa depanku.
Hari demi hari kujalani seorang diri. Tak ada lagi adikku yang terbirit-birit mengambilkan barang yang aku inginkan. Tak ada lagi saudara-saudaraku yang cemberut melihat semua fasilitas keluarga kukuasai. Seiring berjalannya waktu, semua menjadi terbiasa bagiku.
Aku mulai bergaul dengan pemuda setempat. Lambat laun temanku semakin banyak. Kini aku temukan kembali keceriaan yang aku dapatkan dulu di tengah-tengah keluarga, hanya saja bentuknya berbeda. Kehidupan malam yang tak pernah aku rasakan sewaktu di kampung dulu, menjadi rutinitasku kini. Pastinya minuman beralkohol menjadi minuman wajib setiap harinya.
Aku mulai lupa dengan tujuan utamaku ke kota, yakni kuliah. Masa bodoh, pikirku. Yang penting aku bisa menikmati kehidupan ini dengan happy. Tak pernah terpikir olehku, betapa mudahnya aku menghambur-hamburkan uang kiriman orang tua untuk minuman beralkohol itu. Tak pernah terbersit di hatiku, bahwa gaji pensiunan yang tak seberapa itu harus aku bagi dengan saudara-saudaraku. Sementara penghasilan ibuku tidaklah seberapa, hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Bosan dengan minuman keras, aku akhirnya berkenalan dengan yang namanya narkoba. Pada mulanya aku cuma disodori oleh teman-teman sejenis pil yang mereka sebut pil koplo.Wah, suatu pengalaman yang sangat berkesan bagiku. Efek dari obat itu membuatku ketagihan. Lambat laun dosis yang aku butuhkan semakin banyak setiap harinya. Artinya, dana yang aku butuhkan pun otomatis semakin membengkak. Mau tidak mau orang tua di kampunglah yang aku harapkan menanggung kebutuhanku. Sementara kiriman dari kampung sudah maksimal. Kadang aku jadi bingung darimana aku harus mendapatkan uang. Sudah berkali-kali aku meminta kepada orang tuaku untuk mengirimiku uang yang lebih banyak lagi. Tetapi, mereka pun lagi paceklik. Rasanya aku bagai di neraka manakala tubuhku membutuhkan obat itu namun tak ada. Aku betul-betul tersiksa. Untunglah keinginan untuk berbuat "yang tidak tidak" tak pernah terlintas dalam pikiranku.
Kuliahku betul-betul hancur. Nilai-nilaiku di kampus tak sampai mencapai nilai satu. Pihak universitas sudah melayangkan surat peringatakan padaku. Namun itu semua hanyalah gertak sambal. Masih untung, aku ini masih memiliki sedikit minat pada kegiatan-kegiatan ekstrakampus. Aku sering mengikuti acara baksos (bakti sosial) organisasi kampus bila dilakukan di luar kota. Lagi-lagi harus disertai dengan minuman keras dan pil nikmat itu. Rasanya aku bahagia sekali saat itu.
Suatu hari, baksos salah satu UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang ada di kampus, diadakan dekat kampungku. Aku pun mengikutinya. Lumayan juga, aku bisa kembali ke rumah. Apalagi kalau bukan untuk mendapatkan uang guna membeli barang-barang nikmat itu.
Sampai di lokasi, aku kebagian tugas pergi ke pasar membeli bahan-bahan makanan untuk persediaan kami selama baksos. Yang pertama kali aku datangi adalah bagian khusus penjualan sayur-mayur. Sayur-mayur adalah yang paling kami butuhkan saat itu.
Aku berpindah dari satu penjual ke penjual yang lain untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Saat berbelanja itulah, ekor mataku menangkap sekelebat bayangan yang rasa-rasanya aku kenal. Dengan penasaran kuikuti orang itu. Dia masuk ke kerumunan orang yang sedang berdesakan. Aku lihat orang itu -dengan bakul besar yang berisi sayuran di atas kepalanya- dengan susah payah menyibak kerumuman orang. Ah, kini rasanya aku kenal betul orang itu, bahkan sangat dekat.
Kerumunan orang yang berdesakan membuatku tak dapat melihat dia secara jelas. Namun, entah mengapa ada dorongan dalam hatiku untuk terus mengikuti sampai dia menurunkan beban di atas kepalanya.
Akhirnya orang misterius itu sampai juga di tempat tujuannya. Dengan susah payah beban itu dia turunkan. Tatkala dia berbalik ke arahku itulah, dunia ini serasa kiamat. Ternyata dia adalah ibuku yang sedang membanting tulang mencari nafkah. Sungguh betapa bertolak belakangnya dengan diriku selama ini. Aku dengan mudahnya menghamburkan uang -yang ternyata diperoleh dengan begitu susahnya- hingga habis dalam sekejap.
Aku lihat wajah tua ibuku kala itu dengan rambut yang acak-acakan berusaha tersenyum manis pada setiap orang yang lewat. Ya Rabbi, betapa berdosanya aku selama ini. Masihkah ada ampunan untuk anak berdosa seperti aku? Tak terasa air mata penyesalanku mengalir di pipiku yang cekung. Rasa bersalah yang amat sangat itu membuatku diam terpana tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak menemui ibu saat itu supaya dia tidak kaget dengan kehadiran diriku. Aku hanya berjanji dalam hatiku sendiri tak akan lagi melakukan hal-hal yang tidak berguna.
Baksos itu pun usai sudah. Kami kembali ke kota dimana kami kuliah. Masih terbayang di mataku semua kejadian yang bagai mimpi pada siang bolong itu. Di kamar, aku hanya mampu termenung. Langkah-langkah suramku muncul kembali dalam benak dan ingatanku silih berganti dengan bayang-bayang ibu dan bakulnya.
Beberapa hari aku mengurung diri di kamar. Di dalam hati, aku bertekad tak kan lagi melihat yang namanya alkohol dan narkoba, apalagi memakainya. Kecanduanku pada barang-barang itu benar-benar sirna. Mudah-mudahan ALlah Ta'ala menguatkan tekadku dan menerima taubatku. (Kisah Ir di kota M)
Taken from: Elfata Vol 4 no 12/2004
Cerita Hikmah
Thursday, April 19, 2007
Maksiatku Derita Ibu
Oleh Admin Komunitas Jam 7:40 PM
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment